Mengapa banyak orang setelah membeli barang kemudian langsung menyesalinya? kadang sambil menggerutu atau curhat mempertanyakan kenapa membeli barang tersebut. Bila kamu pernah atau seringkali seperti itu, kamu tidak sendirian.
Berdasarkan ilmu neuroscience dan behavioral science, ditemukan fakta bahwa kebanyakan manusia mengambil keputusan pembelian secara irrational dengan bantuan subconscious mind.
Beberapa nama besar seperti psikolog Daniel Kahneman dan Richard Thaler dianugerahi Nobel dalam bidang ekonomi karena dedikasinya dalam bidang neuroscience. Ada pula nama-nama seperti Martin Lindstorm yang juga memulai penelitian jutaan dolar dengan teknologi biometric untuk memecahkan misteri keputusan pembelian konsumen
Ada banyak hal yang di luar dugaan sebelumnya yang menjadi pertimbangan konsumen saat memutuskan untuk membeli pilihannya. Melakukan keputusan pembelian secara irrational dan melalui subconscious mind membuat banyak manusia mempertanyakan barang-barang yang sudah dibeli.
“Padahal kalau membeli secara rasional tentu tidak akan menyesal dan menanyakan lagi, kenapa tadi membeli barang tersebut,” ujar Ignatius Untung, Country General Manager Rumah123 di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Rasa penyesalan tersebut bukan karena barang yang dibeli memiliki kualitas yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Namun, ada beberapa hal yang sebenarnya kita sadari jauh lebih membutuhkan ketimbang barang yang baru saja beli.
Contoh kasus ketika memutuskan untuk membeli properti, banyak orang mengurutkan beragam kualifikasi terkait dengan properti idamannya. Ketika semua kualifikasi sudah sesuai, barang dan uang juga ada, lantas tidak membuat konsumen langsung memutuskan untuk membeli barang tersebut.
“Bahkan, ketika sudah sesuai semuanya masih ada alasan ‘belum sreg’. Nah, ‘belum sreg’ ini yang merupakan subconscious dari setiap manusia,”
Selain itu, manusia tergolong sebagai mahkluk yang mempunyai keterbatasan dalam mengkalkulasi. Sebagai contoh, banyak masyarakat yang menunda membeli properti karena faktor uang yang belum ada. Namun, banyak masyarakat yang rela setiap hari untuk menghabiskan uang puluhan ribu setiap harinya untuk secangkir kopi.
Contoh lagi secangkir kopi di kedai kopi bisa mencapai Rp 40 ribu. Sementara masyarakat urban bisa minum kopi dua kali sehari setiap hari. Katakanlah dengan Rp 40 ribu sehari dikalikan selama 30 hari maka uang yang dikumpulkan sebanyak Rp 1,2 juta. Baginya, manusia tidak menyadari bahwa pengeluaran rutin ini bila dikumpulkan bisa mencukupi untuk membayar uang muka sebuah properti.
“Ini baru kopi dan belum rokok maupun gym. Manusia cenderung berpikir jangka pendek. Kita sebagai manusia tidak takut dengan risiko yang akan terjadi di masa yang akan datang,” pungkas Untung.
via
marketeers.com
Artikel Terkait
informasi